Secara ekpresif maupun
deskriptif di tahun 2014 ini, terlepas dari kompetensi apa atau siapa yang
berbicara tentang suatu peradaban dan seperti apapun bentuknya, tapi sepertinya
sudah saatnya semua orang perlu mewakili sebuah kompetensi untuk menggumuli wacana
kekinian tentang eksistensi suatu peradaban. Karena apabila dibiarkan maka
problematika tersebut cukup menimbulkan resistensi terhadap suatu peradaban
menuju siklus pengkotak-kotakan identitas lokal seperti yang terjadi selama ini. Dunia politik juga terkesan ada dalam permainan “petak umpet” atas problematika ini. Mereka
(Baca : Penguasa) yang seyogyanya mampu meningkatkan kualitas Demokrasi dan
kualitas kehidupan rakyat secara menyeluruh, justru menjadi kelompok yang
menampilkan kualitas kerja yang sebaliknya. Di sisi lain, kesenjangan ini
dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk memperkeruh suasana dengan
memperuncing dinamika tersebut demi kepentingan dan tujuan Politiknya.
Sementara tekad bahkan niat membawa Bangsa maupun Daerah Papua dan Papua Barat ini kedalam
kehidupan yang lebih berkualitas, lebih damai, lebih berderajat dan lebih
menemukan jati diri lewat kesadaran rakyatnya untuk bersatu; semakin jauh
terkubur.
Mengakhiri sebuah masa kepemimpinan dengan setumpuk apresiasi kesuksesan terhadap kinerja para Pejabat Tinggi
Negara adalah tak lebih dari suatu mekanisme mentalitas yang bersifat “megalomania” semata. Sungguh
mengherankan…!! Substansi seperti apakah yang dipakai saat ini dalam menilai
kinerja Petinggi Negara sehingga mereka begitu “di-idolakan” sebagai yang “Pre-eminen”..??
atau bisa saja ini adalah tindakan preservasi selektif bagi popularitas diri
saja..?? Wallahu a’lam.., karena pola “upgrading”
ala Pemerintah ini dari masa ke masa telah menjadi sesuatu yang “ut semper”. Seperti biasa Pemerintah yang idealnya menjadi
“Waliyul ‘amri “(mandataris rakyat)
malahan menampilkan loyalitas yang bertolak belakang. Seperti yang di alami
Rakyat Papua dan Papua Barat, ketika persoalan mereka ( Baca: Rakyat Papua & Papua Barat) di jadikan subjek
persoalan, draf pembahasanpun belangsung melalui pintu kepentingan kelompok
serta bendera partai masing-masing penguasa dan menjadi sangat subjektif.
Sepertinya, sangat sulit mengharapkan solusi konkret bagi berbagai persoalan
rakyat termasuk Rakyat di Papua dan Papua Barat dari kumpulan manusia partai sebagai sebuah
entitas masyarakat Bangsa Indonesia. Kepentingan ‘wajib Partai “ telah menggeser kepentingan apapun termasuk
kepentingan Rakyat di Papua dan Papua Barat yang tengah terseok dan terpuruk ini. Menengok perjalanan
komunitas Politik Kaum Nasionalis yang demikian ini, tidaklah mengherankan
apabila terjadi perubahan yang signifikan serta tersistematis seperti itu
karena pada intinya, esensi Politik yang sebenarnya telah di dahului oleh “Selera Politik” yang ambisius.
Mencermati dinamika
seperti ini, secara hipotetikal dapat di simpulkan bahwa polemik berkepenjangan
yang terjadi di berbagai daerah termasuk Papua dan Papua Barat adalah produk dari ”Selera Politik” Pemerintah pusat.
Hegemoni Kekuasaan Pemerintah Pusatlah yang menjauhkan rakyat dari kehidupan
berkemakmuran dan berkeadilan. Sebagai contoh konkret; bagaimana mungkin dan sangat sulit di percaya kalau Tanah Papua yang kaya
raya Sumber Daya Alamnya ini hanya mampu melahirkan sebuah komunitas masyarakat
( Baca :Peradaban) yang keberadaannya masih hidup jauh di bawah garis
kemiskinan. Tidak cukup meyakinkan, tapi sepertinya nasib Papua akan mirip
dengan beberapa wilayah di Indonesia yang sekarang sementara menjadi basic marketing “
dagang sapi” ala Pemerintah Pusat. Tak hanya itu, berbagai skenario Politik
yang di perankan Pemerintah Pusat terkesan lebih banyak menimbulkan konflik di
daerah apalagi di Papua. Konflik vertikal misalnya; Pemerintah lebih
megandalkan kekuatan militerismenya. Militerisasi yang “mewakili” kekuatan Pemerintah sangat tidak memiliki kompetensi
untuk mengatur keinginan Rakyat di Papua dan Papua Barat, karena setidaknya ada
institusi-institusi lokal yang dapat dipakai sebagai mediator penyelesaian
konflik. Minimal akseptasi rakyat akan sedikit berbeda apabila akses menuju
penyelesaian konflik mempergunakan budaya sebagai pijakan awal. Namun itulah Pemerintah
kita dengan jati dirinya. Mereka (Baca : Penguasa) lebih 100% yakin kalau
solusi seperti penetapan Daerah Otonomi Khusus dapat menyelesaikan segala
problematika yang terjadi di Papua dan Papua Barat. Nyatanya, hal ini malah menimbulkan
deferensiasi bahwa otonomi yang digulirkan Pemerintah hanyalah milik Pemerintah
sendiri bukan milik rakyat. Atas olahan Otonomi itu sendiri yang memungkinkan
terjadinya berbagai macam “badai Politik”
di Daerah Papua maupun Papua Barat. Bagi mayoritas rakyat Papua dan Papua Barat, Undang-undang Otonomi menghadirkan “tontonan menarik”, dimana kita telah
kehilangan ruang untuk hidup sebagai insan yang dimanusiakan dan memanusiakan sesama
warga Bangsanya sendiri.
Dalam keadaan seperti
ini, jelas saja secara substansial Otonomi ini tidak bermanfaat karena capaian
yang tidak maksimal sehingga Rakyat Papua dan Papua Barat wajar merasa kehilangan hak-hak
individual maupun hak kolektifnya. Yang terjadi, Otonomi dengan pendekatan
Politik maupun militeristik telah menggiring rakyat kearah konflik yang semakin
meluas. Itulah sebabnya ancaman terhadap Ideologi Negara seperti merilis
aksi-aksi yang bertujuan memisahkan diri dari NKRI adalah bagian dari
ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja Pemerintah Pusat yang kadang “tebang pilih” dalam merealisasikan
Program Pembangunan selama ini. Dari perspektif Jakarta (Baca: Pemerintah
Pusat) dinilai walau dalam pandangan mata Daerah ini masih jauh dari
hingar-bingar kemajuan zaman namun tetap saja tidak menjadi prioritas
pembangunan. Rakyat Papua dan Papua Barat boleh dikatakan lebih sering “dikucilkan” dari nuansa reformasi dan pembangunan (Baca: Tanpa
arah) saat ini. Oleh karenanya, Otonomi Khusus sama sekali tidak memberikan
jaminan kepada Rakyat Papua maupun Papua Barat, apalagi bagi kelompok-kelompok yang tidak pernah
mengenyam hasil dari suatu mandat Otonomi Khusus tersebut. Pada prinsipnya,
tuntutan untuk mempertahankan “Nasionalisme
Papua” dapat dipahami sebagai manifestasi dari ketidakpedulian Pemerintah
Pusat selama ini terhadap keberadaan peradaban yang satu ini. Yang sangat
dominan malahan ada pada serangkaian apresiasi ketidakadilan sehingga konsep
yang dianggap terbaik bagi Pemerintah tidak pernah terkomunikasikan dari segi
politik maupun Ideologi secara transparan dengan rakyat.
Tulisan ini tidak
bermaksud memposisikan siapa yang menjadi “biang
keladi” malapetaka dan kesengsaraan Rakyat di Papua dan Papua Barat; atau mengobarkan
semangat anti Nasionalisme; atau juga “men-suport”
apa yang dimotori oleh sebagian kelompok dengan seabrek agenda
mereka yang muncul ibarat sosok yang
mengatasnamakan “Pahlawan Umat”.
Sekali lagi, TIDAK…!! Lewat tulisan ini, perlu DITEGASKAN bagaimana agar
kondisi Politik saat ini dapat memberikan jaminan penyelesaiaan bagi beberapa
agenda pokok rakyat yang telah ditelan absurditas itu. Realitas Rakyat di Papua maupun Papua Barat yang sangat memprihatinkan dan terlalu lama dikungkung oleh rasa takut dan
penuh curiga, inilah yang terpenting.
Para Politikus yang notabene adalah pemimpin di Bangsa ini terlalu lamban dalam
penyelesaiannya. Berbagai konflik yang terjadi terlalu sarat dengan berbagai macam intrik.
Berbagai fenomena yang bermunculan tidak dapat teratasi dengan tuntas.
Celakanya, tersingkap prediksi bahkan opini miring kalau konflik-konflik
seperti di Papua maupun Papua Barat adalah suatu bentuk rekayasa Penguasa untuk “menguasai “ daerah tersebut yang
dianggap potensial Sumber Daya Alamnya.
Mereka (Baca: Penguasa) kadang beranggapan bahwa wilayah-wilayah seperti Aceh,
Maluku termasuk Papua dan Papua Barat adalah impian besar Penguasa untuk melakukan transaksi
terselubung dengan catatan, wilayah-wilayah tersebut diprioritaskan dalam
Program Pembangunan Berkelanjutan. Namun kenyataan itu hanyalah “perangkat lunak” dalam meredam tensi
psikologis rakyat belaka demi sterilisasi wilayah kekuasaan individual dengan
kebijakan-kebijakan yang tumpang tindih serta cenderung “cuci tangan” nantinya dari konflik yang terjadi di dalam
masyarakat. Sekilas, ada benarnya juga ; karena ketiga wilayah yang disebutkan
diatas adalah “pelanggan setia” konflik
yang sampai saat ini masih menggema dan bergejolak malahan bertambah beberapa
daerah baru lagi.
Sejauh ini, Rakyat Papua maupun Papua Barat
tidak membutuhkan retorika Pemerintah; yang dibutuhkan adalah kedamaian abadi.
Oleh karenanya, ada beberapa hal yang terasa mengganjal dalam upaya
penyelesaiaan berbagai persoalan di Papua maupun Papua Barat : Pertama, Pemerintah tidak mampu mengoptimalkan
perannya dan tidak mengerti “kemauan”
Rakyat Papua dan Papua Barat. Dalam hal ini, Pemerintah serba “dingin” menanggapi trafedi-tragedi kemanusiaan yang terjadi di
Papua dan Papua Barat (pelanggaran HAM,dsb). Padahal, itu adalah kematian besar yang terus mengancam
keberlangsungan hidup Rakyat di Papua dan Papua Barat. Kedua, kekuatan militeristik tidak
mencerminkan pendekatan hati nurani dan penerapan metodologi penyelesaian
konflik yang sinergik dengan keinginan rakyat. Hal ini terlihat jelas bahwa
rakyat lebih banyak menjadi korban akibat tindakan Negara (Baca : Penguasa).
Ketiga, Pemerintah terkadang tidak transparan dan antisipatif terhadap berbagai
macam kasus yang bermunculan seperti yang terjadi di Papua belakangan ini.
Kelangkaan cara berkomunikasi antar sesame Pejabat pemerintah mengakibatkan
banyak korban berjatuhan di masyarakat.
Mengahadapi realita
seperti ini, sebagai rakyat wajar saja bila rasa cemas terus menghantui benak
ketika diperhadapkan pada nasib yang menerpa Rakyat Papua dan Papua Barat ke depan.
Problematika yang terjadi selama ini, seakan menjadi suatu akumulasi panjang
dari sikap tak peduli nasib rakyat kecil dari para Elit Penguasa Negeri ini. Sedikit berat, akan tetapi
mendudukan elemen dan segmentasi rakyat di satu meja dengan kesadaran membangun
semangat bersatu sebagai anak Bangsa merupakan tugas utama Pemimpin Indonesia
hari ini. Karena Paradigma salah kaprah yang demikian ternyata bukan hanya
berpotensi menghancurkan barisan Kaum Nasionalis semata, tetapi yang lebih
mengerikan adalah rapuhnya bangunan Kebangsaan yang diamanatkan oleh Cita-cita
Kemerdekaan 1945. Hal ini dapat dibuktikan dengan bangunan Politik yang
terkondisi menjadi fenomena musuh dalam satu rumah. Bangunan Sosial Budaya
apalagi ; diciptakan melahirkan keterasingan terhadap diri dan jati diri kita
sendiri sebagai komunitas Bangsa yang dulunya mempunyai kejelasan arah
kebudayaanya.
Upaya klarifikasi
terhadap problematika yang terjadi di Papua dan Papua Barat selama ini tentu akan membuahkan
lebih banyak lagi kontroversi baik itu dari pihak Penguasa maupun masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, minimal perubahan pola berpikir dan perilaku
(moralitas) harus mendasari segala upaya yang dimotori demi kenyamanan dan
keberlangsungan kehidupan Rakyat di Papua dan Papua Barat bahkan Bangsa ini kedepan. Pada
hakekatnya, disamping maksud dan tujuan yang sifatnya substantif, pesan
ekstranya adalah menitipkan kepada Para Penguasa di Negeri ini bahwa di dalam
kerja mereka, ada sekian banyak jiwa (Baca : Rakyat) yang terwakili dan sementara
menunggu hasilnya dengan “meringis
kesakitan”. Bila untuk mewujudkan perubahan ini harga yang harus dibayar
adalah mengupayakan terjadinya ressufle kepemimpinan pada tingkat Daerah, maka bayarlah itu dengan kesadaran bahwa perubahan mendasarlah yang
menjadi tujuan karena “sebuah pergantian
hanyalah prasyarat dari suatu perubahan dan harus tetap dimaknai hanya sebagai
kemenangan dari sebuah harapan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar