Minggu, 17 Agustus 2014

MENAKAR MAKNA "MERDEKA" di BALIK REALITA WARGA PRIBUMI



Ilustrasi : Para Pedagang di Kawasan THIO-Kota Sorong
Hari ini untuk kesekian kalinya kita merayakan Hari Kemerdekaan. Dan untuk kesekian kalinya pula, di mana-mana dilaksanakan apel pengibaran dan penurunan bendera. Lalu di mana-mana, pemerintah menyelenggarakan pawai dan pameran pembangunan, tidak lain dan tidak bukan untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa pemerintah telah berhasil mengisi kemerdekaan dengan pembangunan. Dan di mana-mana spanduk berbentangan, berisi ucapan selamat, tentu saja oleh para pejabat dan oleh mereka yang sedang berkampanye untuk bisa menjadi pejabat. Begitulah, hari ini, 17 Agustus 2014, 69 tahun sudah lamanya kita merdeka. Orde berganti orde, rezim berganti reizm, pemerintahan berganti pemerintahan. Tapi apakah memang kita sudah merdeka????

Jawaban yang akan diperoleh bila pertanyaan tersebut diajukan kepada para petani, buruh, pedagang kaki lima, maupun profesi lain untuk strata terbawah di daerah ini maka jawaban yang ditemukan adalah MERDEKA atau BUKAN tidaklah begitu penting...!! Karena bagi mereka yang jauh lebih penting adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, mulai dari yang paling mendasar yakni pangan yang terjangkau, sehat, dan berbagai kebijakan yng sesuai dengan budaya setempat, sampai dengan kebutuhan hidup yang lebih sekunder seperti pendidikan misalnya. Rakyat bingung, katanya pendidikan gratis yang berkualitas, tetapi kenyataannya tetap harus membayar. Memang tidak harus membayar SPP, tetapi membayar uang buku, uang seragam, dan berbagai jenis kewajiban dan berbagai kebijakan daerah yang menanbah panjangnya rentetan "kebingungan" dan kemeralatan rakyat.

Visi misi Pemerintah mulai dari Pusat sampai ke Daerah, semuanya bermuara pada pengentasan rakyat dari kemiskinan (yang dirancukan menjadi pengentasan kemiskinan). Angka statistik digunakan untuk menunjukkan bahwa berbagai indikator perekonomian telah menunjukkan pembangunan telah berhasil mengurangi kemiskinan namun realitanya sangat bertolakbelakang.

Bicara soal keterbebasan dari ketidakadilan,di hari kemerdekaan ini para koruptor trilyunan rupiah akan memeroleh remisi. Ketika ditangkap tangan pun, media massa berlomba-lomba menayangkan mereka, seakan-akan mereka adalah panglima perang yang pulang dari memenangkan pertempuran. Sementara itu, pencuri sandal jepit pejabat harus menderita babak belur terlebih dahulu, sebelum diadili. Dan setelah diadili dijatuhi hukuman, masa hukumannya pun tidak jauh berbeda dari masa hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor. Padahal, pencuri sandal jepit mencuri karena tidak mempunyai uang, koruptor mencuri karena menilai uang lebih tinggi daripada harga dirinya sebagai manusia, dan bahkan lebih tinggi daripada nilai kemanusiaan. Itu terjadi karena di negeri yang sudah 69 tahun merdeka ini, Undang-undang dimaknai sebagai Hukum itu sendiri, bukan sekedar sebagai instrumen untuk penegakan hukum. Maka hukum adalah milik segelintir pengacara yang menunjukkan keberhasilannya dalam membela keadilan dengan memamerkan cincin bertatahkan permata hasil dari menegakkan keadilan bagi para koruptor.

Carut-marutnya persoalan Hukum, Korupsi, Ekonomi, Pendidikan, Kesejahteraan dan sebagainya di Indonesia maupun di Daerah ini telah menjadi perbincangan umum yang tidak ada habis-habisnya. Banyak kaum intelektual yang menghabiskan ratusan coretan dan berbusa-busa dalam ceramahnya untuk mengkritik kerusakan yang terjadi dalam Negeri ini. Namun seringkali mereka tidak sadar apa persoalan utama yang pokok untuk menjadikan Negeri dan Daerah ini menjadi yang benar-benar merdeka dan menebar kebaikan di setiap aspeknya. Maka ketika kita mencoba mengoreksi status Kemerdekaan Negara ini dengan mencocokkan standararisasi Kemerdekaan yang dibangun selama ini terlihat jelas Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan sama sekali belum merdeka...!!

Apa arti merdeka, bila di Negeri yang sudah 69 tahun merdeka ini ternyata sekelompok orang dibiarkan pemerintah untuk memaksakan kehendaknya terhadap orang lain yang bukan golongannya? Apa arti merdeka manakala masih ada orang yang memaknai perbedaan sebagai musuh yang perlu dibasmi? Apa arti merdeka manakala rakyat pribumi di daerah ini masih duduk di tepian trotoar jalanan beralaskan lembaran kardus, menghirup debu jalanan sambil menjajakan dagangannya? 

Jawaban semua pertanyaan ini tidak akan ada dalam buku-buku pelajaran sejarah. Sejarah diajarkan memang bukan untuk mencari jawaban atas semua pertanyaan ini, melainkan hanya untuk menghapal bahwa kita merdeka pada 17 Agustus 1945. Selebihnya, kekuasaanlah yang membangun diskursus tentang apa arti merdeka...!!



Tidak ada komentar: