Senin, 01 Desember 2014

PAPUA "TEATER" POLITIK PENGUASA !!



Secara ekpresif maupun deskriptif di tahun 2014 ini, terlepas dari kompetensi apa atau siapa yang berbicara tentang suatu peradaban dan seperti apapun bentuknya, tapi sepertinya sudah saatnya semua orang perlu mewakili sebuah kompetensi untuk menggumuli wacana kekinian tentang eksistensi suatu peradaban. Karena apabila dibiarkan maka problematika tersebut cukup menimbulkan resistensi terhadap suatu peradaban menuju siklus pengkotak-kotakan identitas lokal seperti yang terjadi selama ini. Dunia politik juga terkesan ada dalam permainan “petak umpet” atas problematika ini. Mereka (Baca : Penguasa) yang seyogyanya mampu meningkatkan kualitas Demokrasi dan kualitas kehidupan rakyat secara menyeluruh, justru menjadi kelompok yang menampilkan kualitas kerja yang sebaliknya. Di sisi lain, kesenjangan ini dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk memperkeruh suasana dengan memperuncing dinamika tersebut demi kepentingan dan tujuan Politiknya. Sementara tekad bahkan niat membawa Bangsa maupun Daerah Papua dan Papua Barat ini kedalam kehidupan yang lebih berkualitas, lebih damai, lebih berderajat dan lebih menemukan jati diri lewat kesadaran rakyatnya untuk bersatu; semakin jauh terkubur. 

Mengakhiri sebuah masa kepemimpinan dengan setumpuk apresiasi kesuksesan terhadap kinerja para Pejabat Tinggi Negara adalah tak lebih dari suatu mekanisme mentalitas yang bersifat “megalomania” semata. Sungguh mengherankan…!! Substansi seperti apakah yang dipakai saat ini dalam menilai kinerja Petinggi Negara sehingga mereka begitu “di-idolakan” sebagai yang “Pre-eminen”..?? atau bisa saja ini adalah tindakan preservasi selektif bagi popularitas diri saja..?? Wallahu a’lam.., karena pola “upgrading” ala Pemerintah ini dari masa ke masa telah menjadi sesuatu yang “ut semper”.  Seperti biasa Pemerintah yang idealnya menjadi “Waliyul ‘amri “(mandataris rakyat) malahan menampilkan loyalitas yang bertolak belakang. Seperti yang di alami Rakyat Papua dan Papua Barat, ketika persoalan mereka ( Baca: Rakyat Papua & Papua Barat) di jadikan subjek persoalan, draf pembahasanpun belangsung melalui pintu kepentingan kelompok serta bendera partai masing-masing penguasa dan menjadi sangat subjektif. Sepertinya, sangat sulit mengharapkan solusi konkret bagi berbagai persoalan rakyat termasuk Rakyat di Papua dan Papua Barat dari kumpulan manusia partai sebagai sebuah entitas masyarakat Bangsa Indonesia. Kepentingan ‘wajib Partai “ telah menggeser kepentingan apapun termasuk kepentingan Rakyat di Papua dan Papua Barat yang tengah terseok dan terpuruk ini. Menengok perjalanan komunitas Politik Kaum Nasionalis yang demikian ini, tidaklah mengherankan apabila terjadi perubahan yang signifikan serta tersistematis seperti itu karena pada intinya, esensi Politik yang sebenarnya telah di dahului oleh “Selera Politik” yang ambisius. 

Mencermati dinamika seperti ini, secara hipotetikal dapat di simpulkan bahwa polemik berkepenjangan yang terjadi di berbagai daerah termasuk Papua dan Papua Barat adalah produk dari ”Selera Politik” Pemerintah pusat. Hegemoni Kekuasaan Pemerintah Pusatlah yang menjauhkan rakyat dari kehidupan berkemakmuran dan berkeadilan. Sebagai contoh konkret; bagaimana mungkin dan sangat  sulit di percaya kalau Tanah Papua yang kaya raya Sumber Daya Alamnya ini hanya mampu melahirkan sebuah komunitas masyarakat ( Baca :Peradaban) yang keberadaannya masih hidup jauh di bawah garis kemiskinan. Tidak cukup meyakinkan, tapi sepertinya nasib Papua akan mirip dengan beberapa wilayah di Indonesia yang sekarang sementara menjadi basic  marketing “ dagang sapi” ala Pemerintah Pusat. Tak hanya itu, berbagai skenario Politik yang di perankan Pemerintah Pusat terkesan lebih banyak menimbulkan konflik di daerah apalagi di Papua. Konflik vertikal misalnya; Pemerintah lebih megandalkan kekuatan militerismenya. Militerisasi yang “mewakili” kekuatan Pemerintah sangat tidak memiliki kompetensi untuk mengatur keinginan Rakyat di Papua dan Papua Barat, karena setidaknya ada institusi-institusi lokal yang dapat dipakai sebagai mediator penyelesaian konflik. Minimal akseptasi rakyat akan sedikit berbeda apabila akses menuju penyelesaian konflik mempergunakan budaya sebagai pijakan awal. Namun itulah Pemerintah kita dengan jati dirinya. Mereka (Baca : Penguasa) lebih 100% yakin kalau solusi seperti penetapan Daerah Otonomi Khusus dapat menyelesaikan segala problematika yang terjadi di Papua dan Papua Barat. Nyatanya, hal ini malah menimbulkan deferensiasi bahwa otonomi yang digulirkan Pemerintah hanyalah milik Pemerintah sendiri bukan milik rakyat. Atas olahan Otonomi itu sendiri yang memungkinkan terjadinya berbagai macam “badai Politik” di Daerah Papua maupun Papua Barat. Bagi mayoritas rakyat Papua dan Papua Barat, Undang-undang Otonomi menghadirkan “tontonan menarik”, dimana kita telah kehilangan ruang untuk hidup sebagai insan yang dimanusiakan dan memanusiakan sesama  warga Bangsanya sendiri.

Dalam keadaan seperti ini, jelas saja secara substansial Otonomi ini tidak bermanfaat karena capaian yang tidak maksimal sehingga Rakyat Papua dan Papua Barat wajar merasa kehilangan hak-hak individual maupun hak kolektifnya. Yang terjadi, Otonomi dengan pendekatan Politik maupun militeristik telah menggiring rakyat kearah konflik yang semakin meluas. Itulah sebabnya ancaman terhadap Ideologi Negara seperti merilis aksi-aksi yang bertujuan memisahkan diri dari NKRI adalah bagian dari ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja Pemerintah Pusat yang kadang “tebang pilih” dalam merealisasikan Program Pembangunan selama ini. Dari perspektif Jakarta (Baca: Pemerintah Pusat) dinilai walau dalam pandangan mata Daerah ini masih jauh dari hingar-bingar kemajuan zaman namun tetap saja tidak menjadi prioritas pembangunan. Rakyat Papua dan Papua Barat boleh dikatakan lebih sering “dikucilkan” dari nuansa reformasi dan pembangunan (Baca: Tanpa arah) saat ini. Oleh karenanya, Otonomi Khusus sama sekali tidak memberikan jaminan kepada Rakyat Papua maupun Papua Barat, apalagi bagi kelompok-kelompok yang tidak pernah mengenyam hasil dari suatu mandat Otonomi Khusus tersebut. Pada prinsipnya, tuntutan untuk mempertahankan “Nasionalisme Papua” dapat dipahami sebagai manifestasi dari ketidakpedulian Pemerintah Pusat selama ini terhadap keberadaan peradaban yang satu ini. Yang sangat dominan malahan ada pada serangkaian apresiasi ketidakadilan sehingga konsep yang dianggap terbaik bagi Pemerintah tidak pernah terkomunikasikan dari segi politik maupun Ideologi secara transparan dengan rakyat.

Tulisan ini tidak bermaksud memposisikan siapa yang menjadi “biang keladi” malapetaka dan kesengsaraan Rakyat di Papua dan Papua Barat; atau mengobarkan semangat anti Nasionalisme; atau juga “men-suport” apa yang dimotori oleh sebagian kelompok dengan seabrek agenda mereka yang muncul  ibarat sosok yang mengatasnamakan “Pahlawan Umat”. Sekali lagi, TIDAK…!! Lewat tulisan ini, perlu DITEGASKAN bagaimana agar kondisi Politik saat ini dapat memberikan jaminan penyelesaiaan bagi beberapa agenda pokok rakyat yang telah ditelan absurditas itu. Realitas Rakyat di Papua maupun Papua Barat yang sangat memprihatinkan dan terlalu lama dikungkung oleh rasa takut dan penuh curiga, inilah yang  terpenting. Para Politikus yang notabene adalah pemimpin di Bangsa ini terlalu lamban dalam penyelesaiannya. Berbagai konflik yang terjadi terlalu sarat dengan berbagai macam intrik. Berbagai fenomena yang bermunculan tidak dapat teratasi dengan tuntas. Celakanya, tersingkap prediksi bahkan opini miring kalau konflik-konflik seperti di Papua maupun Papua Barat  adalah suatu bentuk rekayasa Penguasa untuk “menguasai “ daerah tersebut yang dianggap potensial Sumber  Daya Alamnya. Mereka (Baca: Penguasa) kadang beranggapan bahwa wilayah-wilayah seperti Aceh, Maluku termasuk Papua dan Papua Barat adalah impian besar Penguasa untuk melakukan transaksi terselubung dengan catatan, wilayah-wilayah tersebut diprioritaskan dalam Program Pembangunan Berkelanjutan. Namun kenyataan itu hanyalah “perangkat lunak” dalam meredam tensi psikologis rakyat belaka demi sterilisasi wilayah kekuasaan individual dengan kebijakan-kebijakan yang tumpang tindih serta cenderung “cuci tangan” nantinya dari konflik yang terjadi di dalam masyarakat. Sekilas, ada benarnya juga ; karena ketiga wilayah yang disebutkan diatas adalah “pelanggan setia” konflik yang sampai saat ini masih menggema dan bergejolak malahan bertambah beberapa daerah baru lagi.

Sejauh ini, Rakyat Papua maupun Papua Barat tidak membutuhkan retorika Pemerintah; yang dibutuhkan adalah kedamaian abadi. Oleh karenanya, ada beberapa hal yang terasa mengganjal dalam upaya penyelesaiaan berbagai persoalan di Papua maupun Papua Barat : Pertama, Pemerintah tidak mampu mengoptimalkan perannya dan tidak mengerti “kemauan” Rakyat Papua dan Papua Barat. Dalam hal ini, Pemerintah serba “dingin” menanggapi trafedi-tragedi kemanusiaan yang terjadi di Papua dan Papua Barat (pelanggaran HAM,dsb). Padahal, itu adalah kematian besar yang terus mengancam keberlangsungan hidup Rakyat di Papua dan Papua Barat. Kedua, kekuatan militeristik tidak mencerminkan pendekatan hati nurani dan penerapan metodologi penyelesaian konflik yang sinergik dengan keinginan rakyat. Hal ini terlihat jelas bahwa rakyat lebih banyak menjadi korban akibat tindakan Negara (Baca : Penguasa). Ketiga, Pemerintah terkadang tidak transparan dan antisipatif terhadap berbagai macam kasus yang bermunculan seperti yang terjadi di Papua belakangan ini. Kelangkaan cara berkomunikasi antar sesame Pejabat pemerintah mengakibatkan banyak korban berjatuhan di masyarakat.

Mengahadapi realita seperti ini, sebagai rakyat wajar saja bila rasa cemas terus menghantui benak ketika diperhadapkan pada nasib yang menerpa Rakyat Papua dan Papua Barat ke depan. Problematika yang terjadi selama ini, seakan menjadi suatu akumulasi panjang dari sikap tak peduli nasib rakyat kecil dari para Elit Penguasa Negeri ini. Sedikit berat, akan tetapi mendudukan elemen dan segmentasi rakyat di satu meja dengan kesadaran membangun semangat bersatu sebagai anak Bangsa merupakan tugas utama Pemimpin Indonesia hari ini. Karena Paradigma salah kaprah yang demikian ternyata bukan hanya berpotensi menghancurkan barisan Kaum Nasionalis semata, tetapi yang lebih mengerikan adalah rapuhnya bangunan Kebangsaan yang diamanatkan oleh Cita-cita Kemerdekaan 1945. Hal ini dapat dibuktikan dengan bangunan Politik yang terkondisi menjadi fenomena musuh dalam satu rumah. Bangunan Sosial Budaya apalagi ; diciptakan melahirkan keterasingan terhadap diri dan jati diri kita sendiri sebagai komunitas Bangsa yang dulunya mempunyai kejelasan arah kebudayaanya. 

Upaya klarifikasi terhadap problematika yang terjadi di Papua dan Papua Barat selama ini tentu akan membuahkan lebih banyak lagi kontroversi baik itu dari pihak Penguasa maupun masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, minimal perubahan pola berpikir dan perilaku (moralitas) harus mendasari segala upaya yang dimotori demi kenyamanan dan keberlangsungan kehidupan Rakyat di Papua dan Papua Barat bahkan Bangsa ini kedepan. Pada hakekatnya, disamping maksud dan tujuan yang sifatnya substantif, pesan ekstranya adalah menitipkan kepada Para Penguasa di Negeri ini bahwa di dalam kerja mereka, ada sekian banyak jiwa (Baca : Rakyat) yang terwakili dan sementara menunggu hasilnya dengan “meringis kesakitan”. Bila untuk mewujudkan perubahan ini harga yang harus dibayar adalah mengupayakan terjadinya ressufle kepemimpinan pada tingkat Daerah, maka bayarlah itu dengan kesadaran bahwa perubahan mendasarlah yang menjadi tujuan karena “sebuah pergantian hanyalah prasyarat dari suatu perubahan dan harus tetap dimaknai hanya sebagai kemenangan dari sebuah harapan”.

Tidak ada komentar: